Kamis, 12 Maret 2009

Ayah Nomor 1 Di Dunia

Kemana engkau pergi?
Kenapa tak kudapatkan engkau disini?
Kemana engkau pergi?
Padahal rumahmu ada disini.

Aku berlari namun tak jua kau tampak. Aku menangis tak jua kau muncul. Aku bosan menatapmu berada di dalam bingkai foto terus menerus. Aku bosan bacakan surat Yasin untukmu, karena aku ingin melihatmu.
Rumah menjadi sepi tanpamu. Tak adalah asap rokok mengepul disana. Dan tak ada lagi yang mengusap kepalaku bagaikan aku anjing peliharaanmu sambil berkata, “Kau anak pintar.”
Suara langkah mu, suara seretan tongkat keramatmu tak lagi terdengar. Siulan mu yang norak, yang biasa kau gunakan untuk memanggilku dari kejauhan seperti seekor burung, tak lagi memanggilku.
Aku merindukanmu. Sungguh tanpa ada kebohongan. Aku ingin melihatmu, memelukmu, mencium pipimu, dan mendengar nasihat-nasihatmu dengan kata-kata yang setajam pisau, yang sering menikamku dan membuat benciku padamu bertambah lagi. Tapi aku rindu semua itu.

Siapa lagi yang akan memujiku?
Siapa yang akan dengarkanku?
Siapa yang akan menemaniku?
Siapa yang akan membelaku?

“Tak ada lagi, gadis kecil, tak ada lagi...” seolah malaikat pencabut nyawa bicara padaku, mengingatkanku bahwa ia telah mencabut nyawamu. Entahlah, aku tidak mengerti apakah aku mengikhlaskan kau, atau aku tak terima kenyataan bahwa kau lenyap sudah dikebumikan.
Tak ada yang membangungkanku tiap pagi dengan percikan sisa air wudhu-mu, yang kadang membuatku mencak-mencak menahan amarah.
Kau memang tak setaraf dengan wanita pendamping hidupmu. Ia lulusan Universitas, sedangkan kau hanya lulusan SMA, kau tahu kan?
Namun kau lebih banyak ajarkan hal berharga padaku.
Kau ajarkan pedihnya kehidupan, kau ajarkan susahnya untuk menentang arus takdir. Kau ajarkan caranya bersabar, menunggu kaki dan tangan kirimu pulih, sembuh dari lumpuh. Kau juga ajarkan cara menjadi seorang manusia yang tegar, kau ajarkan cara menjadi manusia yang akan masuk surga. Kau ajarkan caranya untuk marah, kau ajarkan cara untuk merajuk.

Tapi kemana kamu!? Aku bosan menunggumu. Banyak hal yang ingin kukatakan padamu.
“Rumah jadi makin hancur, Yah.”
“Kasihan ibu, Yah.”
“Keluarga kita diinjak-injak, Yah!”
“Aku sekarang kelas dua SMP, yah!”
“hei lihat, aku jadi sekretaris OSIS, yah!”
“aku berhasil membuat banyak cerpen, yah!”
“Dan kau ada disini, di tulisanku ini, Yah!”
“Dan... apa kau tau ayah?Kau belum ajarkan aku tentang rasa iri. Aku iri, melihat teman-temanku. Semua punya ayah. Ada yang setiap pagi diantar ayahnya, yang pulang dijemput ayahnya. Jika pengambilan rapor, tak sedikit para ayah-ayah itu datang berduyun-duyun. Tak perduli berapapun nilai anak mereka, tetap saja mereka datang dengan senyum. Aku ingin kau ada disitu, yah! Sekali saja, ambil raporku, yah!!”

“Dia takkan dengar semua itu, anak manis.” Suara itu lagi. Dasar pencabut nyawa!
“Dia sudah bukan bagian dari dunia nyata lagi, kau mengerti?”
“Dia takkan berada disampingmu lagi!”
Dan pencabut nyawa itu pergi. Tapi lalu ia kembali lagi,
“Apa ada pesan untuknya? Tapi jangan sebanyak tadi, aku susah mengingat itu.”
Aku tersenyum kecut, dan menyahut,
“Kau ayah nomor satu di dunia.”

1 komentar: